Berbicara Dalam Hati

Senin, 19 November 2007

Selain kemampuan untuk melihat, mendengar, serta berucap. Salah satu rahmat Tuhan yang patut kita syukuri adalah kemampuan kita untuk berbicara dalam hati. Berbicara dalam hati -atau dalam istilah jawa lebih dikenal sebagai mbatin- adalah satu kemampuan yang dimiliki manusia untuk mengungkapkan perasaan tanpa menggunakan piranti oral (mulut)

Dia merupakan ruang privasi bagi manusia. Berbicara dalam hati memungkinkan siapapun untuk mengungkapkan pandangannya terhadap sesuatu tanpa perlu merasa khawatir diketahui oleh orang lain. Karena sifatnya yang private tersebut, maka isi pembicaraan yang bermain di dalamnya pun cenderung bersifat rahasia, liar, melanggar bebas segala norma sosial.

Berbicara dalam hati adalah nilai puncak kejujuran manusia. Aksara tanpa kata. Kata tanpa suara. Keheningan di dalamnya melahirkan apa yang disebut etika: satu bentuk usaha untuk membatasi pandangan yang harus dilisankan dan tidak semestinya dilisankan. Karena itulah kebohongan kadang terlegalkan. Senyuman bisa jadi merupakan umpatan. Umpatan bisa jadi merupakan satu bentuk rasa cinta yang mendalam.

Seorang bawahan yang jengkel kepada atasan bisa dengan aman menyimpan kejengkelannya. Meski di depan sang atasan dia angguk-angguk memberi hormat sambil tersenyum, sang atasan tak akan tahu bahwa saat itu sebetulnya seribu umpatan tertuju padanya. Bayangkan seandainya semua yang ada dalam hati si bawahan tentang sang atasan tersampaikan lewat kata. Tentu itu akan menjadi akhir dari karir si karyawan bukan..?

Ketidaksamaan antara lisan dan hati inilah yang kemudian oleh penjunjung transparansi berpendapat disebut munafik dan penuh kepura-puraan. Alim secara lahiriyah, namun bisa jadi tinggi hati secara batiniyah. Tapi itulah hati. Tempat paling aman bagi 'manusia alim' menyimpan rahasia brengseknya. Dan tempat paling sepi bagi 'manusia brengsek' menyimpan kerendahhatiannya.

0 komentar:

Add to Technorati Favorites


Search Engine Optimization