Media dan Kita

Senin, 05 November 2007

Ternyata, betapapun media (baca: pers) telah memberikan kontribusi berarti bagi terpenuhinya kebutuhan informasi publik, tetap saja terdapat pihak yang merasa "keberatan" atas cara dan hasil kerjanya.

Bisa dimengerti, karena media, sekalipun diktum selalu menyebutnya sebagai tangan kanan obyektivitas, namun sangat sulit untuk melepaskan diri begitu saja dari kepentingan dan tendensi yang menghegemoni di baliknya.

Menghindari jelas tak mungkin, karena itu sama halnya dengan menutup akses alur informasi primer. Demikian pun sikap "taqlid buta" dalam negara yang menghargai heterogenitas informasi (konon, ketika merumuskan RUU penyiaran, homogenitas informasi menjadi bahasan yang paling debatable) menjadikan tiap orang bingung dalam melihat kebenaran. Ada baiknya, sebelum melangkah lebih jauh pada kecurigaan atas media, termasuk keputusan untuk "mengharamkan" atau membolehkan, kita juga perlu mempelajari "cara berpikir" media, melalui pemahaman kompleksitas "kebijakan" yang bermain di dalamnya.

Pertama, upaya pendefinisian obyektifitas.
Sampai saat ini, tak dapat dipungkiri, kita masih terjebak pada pendefinisian obyektifitas yang berputar-putar. Bahkan secara tidak sadar, persepsi atas obyektifitas pada kasus-kasus tertentu selalu disamakan dengan kebenaran.
Padahal, science justru menghasilkan paradigma radikal yang mempertanyakan: apakah kriteria obyektivitas dapat membantu manusia mencapai suatu kebenaran? Sementara kebenaran secara hakikat merupakan hasil yang sangat sulit dicapai?

Bila seandainya wartawan harus meliput suatu kecelakaan bus dan ia memperoleh dua keterangan yang bertentangan, apakah ia harus mendahulukan laporan resmi polisi atau keterangan yang diperolehnya dari pengemudi bus dan penumpang yang selamat? Sementara nilai obyektif umumnya lebih diberikan pada laporan resmi" dari sumber yang "otoritatif" (lebih memiliki kekuasaan) meski belum tentu itu yang lebih "benar". (Victor Menayang, Kompas, 23/10/03)

Kedua, mainstream tiap media yang memang telah disetting berbeda.
Pembedaan setting tersebut pada akhirnya menyebabkan gaya redaksional tiap media (terutama surat kabar) yang berbeda pula. Kompas, kalau kita mau mencermati, cenderung mempublikasikan berita-berita yang mengandung muatan humanis dengan mengabaikan sekat-sekat simbolik-komunal, berbeda dengan Sabili atau Republika yang sangat kental nuansa keagamaan.

Saya masih ingat, ketika invasi Amerika atas Iraq tahun lalu, hampir semua media beramai-ramai mengecam Amerika, namun pernah suatu kali, Kompas -dalam salah satu artikelnya- justru menyisipkan hal yang beda. Kompas memberitakan kesaksian seorang tentara wanita AS yang berhasil lolos dari sergapan tentara Iraq, lengkap dengan drama penyenderaan dan penyiksaan yang dilaluinya.

Bagi segelintir orang, tindakan Kompas ini akan dinilai sebagai pro-Amerika, karena berita yang dipublikasikan mengandung unsur keberpihakan. Namun benarkah demikian ? bukankah obyektifitas adalah memberitakan suatu peristiwa, berikut item-item di dalamnya, terlepas dari sangkaan mana pihak yang benar dan yang salah ?
Keberatan seperti tadi bisa diterima, sepanjang apa yang diekspose merupakan berita palsu (pseudo-truth), namun jika yang diberitakan oleh Kompas dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya (truth) maka katakanlah Kompas memang berhasil memberikan satu tafsir mengenai "obyektif."

Dua poin di atas kiranya cukup kompleks, belum lagi apabila kita melangkah pada pembahasan yang lebih aplikatif semacam jurnalisme perang atau jurnalisme bencana, yang sarat dengan modifikasi kebijakan media. Dengan mencermati kedua poin itu, kiranya bisa dijadikan pedoman bagi kita untuk lebih bisa ber"khusnudzon" pada media, sekalipun pengkajian dan sikap kritis atas pelanggaran kode etik jurnalistik dirasa tetap perlu.

Peran media sebagai alat kontrol sosial, seharusnya tidak menghalangi kita untuk mengkritisinya, karena pengungkapan fakta yang valid dan terperinci, dengan tetap berpedoman pada etika jurnalistik, selayaknya menjadi prioritas utama sehingga menstimulasi kita untuk terus memantaunya. Sebaliknya, menyatakan resisten terhadap media, di samping "terlalu pagi", sikap semacam itu juga terkesan menganggap pers hanya sebagai tempat mencari makan, bukan pelayan publik.

Seharusnya, ada satu cara pandang yang mencoba untuk mengerti bahwa fungsi media tidaklah sebatas pada hak profesional wartawan untuk memberitakan, namun juga hak publik untuk mendapat informasi. Jadi ada semacam hubungan timbal-balik yang saling melengkapi, bagi publik, juga bagi pihak media itu sendiri.

0 komentar:

Add to Technorati Favorites


Search Engine Optimization